“Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina.”.
Mereka berkata: “ Apakah kamu hendak menjadikan kami
buah ejekan?”
Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar
tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Baqarah [2] : 67)
Diriwayatkan bahwa pada zaman Nabi
Musa ‘alaihis salam hidup seorang yang kaya raya dari kalangan Bani
Israil. Dia memiliki saudara sepupu yang fakir dan taka da ahli waris selain
dirinya. Suatu hari, dia ditemukan tewas terbunuh di pelataran desa dan tidak
diketahui siapa pembunuhnya. Maka kaum Bani Israil pun mencoba mencari tahu
siapa pembunuhnya, namun hasilnya nihil. Ketika mereka sudah mulai bosan
mencarinya, maka mereka ingat bahwa di tengah-tengah mereka ada Nabi Musa ‘alaihis
salam, lalu sebagian mereka mendatanginya dan memintanya untuk berdoa
kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia memberitahukan siapa
pembunuhnya.
Lalu
Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah subhanahu wa
ta’ala agar menyelesaikan masalah itu, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala
mewahyukan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam agar ia memerintahkan mereka
menyembelih seekor sapi betina. Nabi
Musa ‘alaihis salam berkata kepada mereka:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina.” (QS. Al-Baqarah [2] : 67)
Mereka berkata:
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
“Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” (QS. Al-Baqarah [2] : 67)
Maksudnya, apakah engkau mengejek kami, padahal kami
bertanya kepadamu mengenai orang yang terbunuh, dan engkau justru memerintahkan
kami agar menyembelih sapi.
Lantas Nabi Musa ’alaihis salam menjawab:
أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk
orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Baqarah [2] : 67)
Maksudnya, termasuk orang-orang yang mengejek kaum mukmin.
Kaum Bani Israil memang kaum yang
keras kepala. Mendengarkan perintah itu, bukannya mereka segera melaksanakannya
akan tetapi justru menganggapnya sebuah ejekan, sehingga akhirnya mereka banyak
bertanya dan akhirnya menyulitkan diri mereka sendiri. Mereka bertanya kepada
Nabi Musa ‘alaihis salam mengenai sapi itu:
ادْعُ
لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ
“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan
kepada kami, sapi betina apakah itu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 68)
Nabi Musa ‘alaihis salam menjawab:
إِنَّهُ
يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ فَافْعَلُوا
مَا تُؤْمَرُونَ
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu, maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 68)
Mereka bertanya kembali kepada Nabi Musa ‘alaihis salam:
ادْعُ
لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا
“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami apa warnanya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 69)
Nabi Musa ‘alaihis salam menjawab:
إِنَّهُ
يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 69)
Mereka bertanya kembali:
ادْعُ
لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا
إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” (QS. Al-Baqarah [2] : 70)
Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:
إِنَّهُ
يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ
مُسَلَّمَةٌ لَا شِيَةَ فِيهَا
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk
mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” (QS. Al-Baqarah [2] :
71)
Mereka berkata:
الْآنَ جِئْتَ
بِالْحَقِّ
“Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 71)
Ketika orang-orang mengetahui bahwa menyembelih sapi
merupakan rencana dari Allah Subhanahu wa ta’ala, maka mereka
menanyakan ciri-ciri sapi tersebut kepada Nabi Musa ’alaihis salam.
Ternyata di balik hal tersebut ada hikmah besar, yaitu bahwa
di kalangan Bani Israil terdapat orang shalih. Dia mempunyai anak laki-laki
yang masih kecil dan dia mempunyai anak sapi betina. Dia membawa anak sapi
tersebut ke dalam hutan dan berkata, “Ya Allah! Saya menitipkan anak sapi ini
kepada-Mu untuk anakku kelak jika dia dewasa.”
Selanjutnya orang shalih ini meninggal dunia, sehingga anak
sapi ini masih di hutan sampai bertahun-tahun. Anak sapi itu berlari setiap
kali dilihat oleh orang. Ketika anak orang shalih tadi telah dewasa, dia
menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Dia membagi malamnya
menjadi tiga bagian. Dia melaksanakan shalat dalam sepertiga malam, tidur dalam
sepertiga malam, dan duduk di samping ibunya dalam sepertiga malam. Di pagi
hari dia mencari kayu bakar yang ditaruh di punggungnya, lalu datang ke pasar
untuk menjual kayunya sesuai kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian dia menyedekahkan sepertiganya, memakan sepertiganya, dan memberikan
kepada sang ibu sepertiganya.
Pada suatu hari sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya
ayahmu telah mewariskan anak sapi betina untukmu yang dia titipkan kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala di hutan ini, maka berangkatlah! Berdoalah kepada Rabb Nabi
Ibrahim ’alaihis salam, Nabi Ismail ’alaihis salam, dan
Nabi Ishaq ’alaihis salam agar mengembalikan anak sapi tersebut
kepadamu. Ciri-cirinya, jika engkau melihatnya, kamu membayangkan seakan-akan
sinar matahari memancar dari kulitnya. Dia diberi nama ‘Al-Mudzahhabah’ karena
keindahan dan kejernihannya.”
Kemudian anak tersebut memasuki hutan, lalu dia melihat anak
sapi sedang merumput, lantas dia memanggilnya dengan mengatakan, “Saya
bermaksud kepadamu dengan menyebut nama Rabb Nabi Ibrahim ’alaihis
salam, Nabi Ismail ’alaihis salam, dan Nabi Ishaq ’alaihis
salam.” Kontan sapi itu menengok ke arahnya dan berjalan mendekatinya
sehingga sapi tersebut berdiri di hadapannya. Dia lalu memegang lehernya dan
menuntunnya.
Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, tiba-tiba
sapi tersebut bicara, “Wahai anak yang berbakti kepada kedua orang tua!
Tunggangilah aku, karena hal itu lebih meringankanmu.’
Anak tersebut berkata, “Sesungguhnya ibuku tidak
memerintahkanku melakukan hal itu. Akan tetapi, beliau berkata ‘peganglah
lehernya.’”
Sapi itu berkata, “Demi Rabb Bani Israil, jika engkau
menunggangiku, niscaya kamu tidak dapat menguasaiku untuk selamanya. Ayo
berangkat! Sungguh, jika engkau memerintahkan gunung melepaskan diri dari
pangkalnya dan berjalan bersamamu, niscaya ia melakukannya lantaran baktimu
kepada ibumu.”
Lantas pemuda tersebut berjalan bersama sapi menemui ibunya.
Sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau orang fakir. Engkau tidak
memiliki harta. Engkau kerepotan mencari kayu bakar di siang hari dan melakukan
qiyamul lail di malam hari. Oleh karena itu, pergilah. Jual sapi ini!”
Si anak bertanya , “Saya jual dengan harga berapa?”
Ibunya menjawab, “Tiga dinar. Engkau jangan menjual tanpa
pertimbanganku.” Harga sapi telah dipatok tiga dinar. Sang anak pun berangkat
ke pasar.
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengutus
malaikat agar dia melihat makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya sekaligus untuk menguji
pemuda tersebut bagaimana baktinya kepada ibunya. Sungguh, Allah subhanahu
wa ta’ala mengetahui hal tersebut.
Sang malaikat bertanya, “Kamu jual sapi ini dengan harga
berapa?”
Dia menjawab, “Tiga dinar. Dengan catatan ibuku meridhainya.”
Lantas malaikat berkata, “Saya beli enam dinar. Tetapi
engkau tidak perlu meminta persetujuan ibumu.”
Pemuda itu berkata, “Seandainya engkau memberiku emas
seberat sapi ini pun, saya tidak akan mengambilnya melainkan dengan ridha
ibuku.”
Kemudian dia membawa pulang sapi kepada ibunya dan dia
menceritakan tentang harganya.
Lalu sang ibu berkata, “Kembali lagi! Juallah dengan harga
enam dinar berdasarkan ridha dariku.’
Dia pun berangkat ke pasar dan menemui malaikat. Sang
malaikat bertanya, “Apakah engkau telah meminta persetujuan ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak
mengurangi harganya dari enam dinar dengan catatan saya meminta persetujuan
ibu.”
Sang malaikat berkata, “Saya akan memberimu dua belas
dinar.”
Pemuda itupun menolak, lalu kembali kepada ibunya dan
menceritakan hal tersebut kepadanya.
Ibunya berkata, “Sungguh, orang yang mendatangimu adalah
malaikat dalam bentuk manusia untuk mengujimu. Jika dia mendatangimu lagi,
katakan padanya, ‘Apakah engkau memerintahkan kami untuk menjual sapi ini
ataukah tidak?”
Pemuda itu pun melakukan hal tersebut, lalu malaikat
berkata, “Kembalilah kepada ibumu. Dan tolong sampaikan padanya, ‘Biarkanlah
sapi ini. Sungguh Nabi Musa bin Imran ’alaihis salam akan
membelinya dari kalian untuk mengungkap korban pembunuhan seseorang di kalangan
kaum Bani Israil. Janganlah engkau menjualnya kecuali dengan kepingan dinar
yang memenuhi kulitnya. Oleh karena itu, tahan dulu sapi ini.’”
Allah subhanahu wa ta’ala memang
menakdirkan orang-orang Bani Israil yang menyembelih sapi itu. Mereka
terus-menerus menanyakan ciri-ciri sapi tersebut dan ternyata ciri-ciri yang
diberikan sesuai dengan ciri-ciri sapi pemuda shalih tersebut. Hal ini
merupakan imbalan bagi pemuda tersebut atas baktinya kepada sang ibu sebagai
anugerah dan kasih sayang.
Akhirnya mereka pun membeli sapi tersebut dengan emas
sepenuh kulit sapi. Lantas mereka menyembelih sapi tersebut kemudian memukulkan
bagian dari sapi kepada korban pembunuhan sebagaimana perintah Allah subhanahu
wa ta’ala. Selanjutnya orang yang terbunuh bangkit, hidup lagi dengan izin
Allah subhanahu wa ta’ala, sedang urat lehernya masih mengalirkan darah.
Lalu dia berkata, “Yang membunuh saya adalah fulan.” Kemudian dia jatuh dan
mati di tempatnya. Maka, si pembunuh terhalang mendapat warisan.
0 Comment for "Sapi Betina"