“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
Segala
puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala
yang karena atas izin-Nya serta rahmat-Nya sebentar lagi kita akan merayakan
hari raya ‘Idul Fitri yang merupakan hari raya yang disyari’atkan dalam islam. Hari
‘id bagi seorang muslim bukanlah sekedar bersenang-senang, berpesta dan
berbahagia. Akan tetapi, justru momen hari raya ini seharusnya dijadikan momen
untuk semakin meningkatkan hubungan kita dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun sayang beribu sayang, kebanyakan dari kita justru lalai akan hal ini dan
lebih menjadikan hari ‘id sebagai simbolitas semata sehingga sebagian besar
dari kita justru lebih fokus untuk berbuat boros seperti membeli pakaian baru,
makan-makan, jalan-jalan dan menghabiskan uang, bahkan menjadi sebuah ironi
pula yaitu ketika shalat ‘id, kita bisa menyaksikan lapangan yang digunakan
untuk shalat ‘id penuh dengan para jama’ah, akan tetapi ketika adzan dzuhur
berkumandang masjid kembali sepi, kemana mereka yang tadi pagi menjalankan
shalat ‘id? Astaghfirullah.
Melihat
hal ini, penulis ingin sharing mengenai adab-adab serta sunnah apa saja yang
mesti dilakukan oleh kita dalam merayakan hari ‘id ini agar kita bisa lebih
taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan tidak menjadi orang yang lalai yang dengannya berhari ‘id menjadi
bernilai ibadah.
Termasuk
adab-adab dan sunnah yang seharusnya dilakukan seorang muslim pada hari ‘id
adalah sebagai berikut:
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Mandi
sebelum shalat ‘id adalah sunnah dan telah menjadi sebuah kesepakatan para
ulama, cara mandi sebelum shalat ‘id sama dengan tata cara mandi junub. Hal ini
berdasarkan atsar dari beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum
seperti Abdullah bin Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma,
dan merupakan pendapat yang dipegang oleh banyak kalangan tabi’in serta para
ulama setelah mereka, termasuk Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.
(Al-Mughni, Jilid 3 hal. 256)
Imam
Malik bin Anas rahimahullah
dalam kitab Al-Muwaththa’ meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma
mandi pada hari ‘id sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR. Malik no. 428)
2. Makan Sebelum Shalat ‘Id pada ‘Idul
Fithri dan Sesudah Shalat ‘Id pada ‘Idul Adha
Disunnahkan
untuk makan sebelum berangkat menuju shalat ‘Idul Fithri, diutamakan berupa
beberapa buah kurma dengan bilangan ganjil. Sedangkan pada ‘Idul Adha
dianjurkan untuk tidak makan kecuali setelah usai shalat ‘Idul Adha agar dia
bisa memakan dari daging hewan kurbannya.
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, dia berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ
حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ
وِتْرًا
“Bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fithri
sebelum memakan beberapa butir kurma, dan dia memakannya dengan jumlah ganjil.”
(HR. Al-Bukhari no. 953)
Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah
memberikan latar belakang masalah ini, yaitu untuk menutup celah adanya
tambahan dalam puasa, dan padanya terdapat sikap segera menunaikan perintah
Allah. (Fathul Bari, Jilid 2 hal. 446)
Hal
ini disunnahkan karena sebagai penegasan bahwa waktu puasa telah selesai dan
dibolehkannya kita untuk makan dan sebagai tanda bahwa pada hari itu kita
diharamkan untuk berpuasa. Barangsiapa tidak mendapatkan kurma, maka tidak
mengapa makan sesuatu yang lain yang dihalalkan. Wallahu a’lam.
Adapun
pada ‘Idul Adha, maka hendaklah tidak makan terlebih dahulu sebelum kembali
dari melaksanakan shalat ‘Id. Hendaknya dia makan dari hewan kurbannya jika dia
menyembelih hewan kurban, jika dia tidak memiliki hewan kurban, maka tidak
mengapa dia makan sebelum shalat Id.
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
dalam Al-Musnad, dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhum,
ia berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى
يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ
أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wasallam biasa berangkat shalat ‘id pada hari Idul Fithri dan
beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan
lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘id baru beliau menyantap hasil qurbannya.”
(HR. Ahmad 5/352)
3. Bertakbir Pada Hari ‘Id
Takbiran
adalah hal yang disunnahkan dalam merayakan hari ‘Id. Akan tetapi terdapat
ikhtilaf para ulama mengenai sejak kapan kita disunnahkan untuk memulai
takbiran pada hari ‘Idul Fithri, apakah setelah memasuki 1 syawwal ataukah
ketika keluar dari rumah untuk menuju shalat ‘Id. Ulama yang berpendapat bahwa
takbiran dimulai ketika telah memasuki 1 syawwal pada waktu maghrib seperti
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
mengambil dalil dari Al-Quran berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 185)
Dengan
ayat di atas sebagian ulama berdalil tentang dimulainya takbir secara mutlak
dari sejak malam hari ‘Idul Fithri yaitu setelah ditetapkan bahwa besok adalah
hari ‘Id, baik dengan terlihatnya hilal awal Syawwal atau dengan
disempurnakannya bilangan Ramadhan menjadi 30 hari.
Sedangkan
Ulama yang berpendapat bahwa takbiran dimulai ketika keluar dari rumah seperti
Imam Malik bin Anas rahimahullah,
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan
Imam Al-Auzai rahimahullah
mengambil pendapat mereka berdasarkan atsar para sahabat.
Diriwayatkan
oleh Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah,
dari Imam Az-Zuhri rahimahullah,
dia berkata:
كان
الناس يكبرون في العيد حين يخرجون من منازلهم حتى يأتوا المصلى وحتى يخرج الإمام
فإذا خرج الإمام سكتوا فإذا كبر كبروا
“Orang-orang
bertakbir pada hari Id hingga mereka keluar dari rumah-rumah mereka hingga
ketika mereka mendatangi tempat shalat dan hingga imam datang. Apabila imam
telah datang, mereka semua diam, jika imam bertakbir, merekapun bertakbir.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Dari
Walid bin Muslim dia berkata, “Aku bertanya kepada Al-Auzai dan Malik bin Anas
tentang mengeraskan takbir pada dua Hari Raya.' Mereka berdua menjawab, 'Ya,
dahulu Ibnu Umar mengeraskan takbir pada hari Idul Fitri hingga imam
datang."
Terdapat
riwayat shahih dari Abu Abdurrahman As-Silmi, dia berkata, 'Mereka para hari
Idul Fitri lebih keras dibanding Idul Adha) Waki' berkata, 'Yang dimaksud
(keras) adalah bertakbir.' (Lihat Irwa'ul Ghalil, Jilid 3 hal. 122)
Syaikh
Sayyid Sabiq rahimahullah
mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada ‘Idul Fithri
dimulai sejak keluar menuju shalat ‘Id, sampai mulainya khutbah. Hal itu telah
diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu
Umar dan selainnya dari kalangan sahabat nabi. Berkata Al-Hakim: ini adalah
sunah yang tersebar dikalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad,
ishaq, dan Abu Tsaur.” (Fiqhus Sunnah, Jilid 1 hal. 325)
Jika
melihat dari sisi pendalilan maka pendapat yang rajih adalah bahwa takbiran
dimulai ketika keluar dari rumah untuk menuju tempat shalat ‘Id hingga Imam
memasuki tempat untuk memulai shalat ‘Id. Wallahu a’lam.
Adapun
dalam Idul Adha, maka takbir dimulai sejak hari pertama Dzulhijjah hingga
matahari terbenam pada akhir hari tasyrik. Sebagaimana sebuah riwayat dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung
dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1-10
Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid
pada hari itu.” (HR. Ahmad)
Tata
Cara Takbiran
Takbiran
dilakukan masing-masing dan tidak disyari’atkan dilakukan secara berjama’ah
dengan satu suara. Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat beberapa atsar
dari sahabat, di antaranya:
•
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
اللهُ
أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ
أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu, Allahu Akbar, Allahu
Akbar, walillahil hamd.”
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ
أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ
الْحَمْدُ
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahil hamd.”
Lafazh
“Allahu Akbar” pada takbir Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
bisa di baca dua kali atau tiga kali. Semua lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah rahimahullah
dalam Al-Mushannaf.
•
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhuma:
اللهُ
أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ
وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd, Allahu Akbar, wa
ajallullahu Akbar, ‘alaa maa hadaanaa.”
Lafazh
ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah.
•
Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu:
اللهُ
أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيراً
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiiraa.”
Lafazh
ini diriwayatkan oleh Imam Abdurrazaq rahimahullah
dalam kitab Al-Mushannaf.
Penjelasan
mengenai lafazh takbiran ini dapat dilihat dalam Artikel Lafazh Takbir Hari Raya.
4. Mengucapkan Selamat Hari Raya
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab:
“Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘Id, sebagaimana ucapan sebagian mereka
terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘Id yaitu: Taqabbalallahu minna
wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalallahu ‘alaika
(Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah
diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal
tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata,
“Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika
seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena
menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk
sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang
melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada
contohnya (Majmu’ Al-Fatawaa, Jilid 24 hal. 253)
Dari
Jubair bin Nafir rahimahullah,
dia berkata:
كان
أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض ، تُقُبِّل
منا ومنك
“Para
shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila berjumpa pada hari
‘Id, mereka satu sama lain saling mengucapkan, Taqabbalallahu minna wa minka.”
(Fathul Bari, Jilid 2 hal. 446)
Pemberian
ucapan selamat sudah dikenal di kalangan para shahabat, karenanya para ulama
memberikan keringanan dalam hal ini, seperti Imam Ahmad rahimahullah dan
lainnya. Redaksi lain selain redaksi yang terdapat dalam atsar di atas seperti
ucapan, ‘Idul
Mubarak atau Minal
‘Aidin wa Faizin, mohon maaf lahir dan batin juga di perbolehkan. Bahkan
sekedar mengucapkan selamat hari raya ‘Idul Fithri pun diperkenankan. Wallahu a’lam.
5. Berhias Pada Dua Hari ‘Id
Disunnahkan
sebelum berangkat shalat ‘Id bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai
pakain terbaik yang dimilikinya serta memakai minyak wangi serta bersiwak.
Sedangkan bagi wanita, hendaknya dia menjauhi perhiasan apabila dia keluar,
karena dilarang baginya menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki non mahram,
demikian pula diharamkan bagi wanita yang hendak keluar untuk mengenakan
wewangian atau mengundang fitnah bagi laki-laki, karena dia keluar semata-mata
untuk beribadah dan ketaatan.
Abdullah
bin Umar radhiallahu
‘anhuma berkata:
أَخَذَ
عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لا
خَلاقَ لَهُ
“Umar radhiallahu
‘anhu mengambil (membeli) sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar, lalu
dia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berkata,
“Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengannya untuk Hari Raya dan
menyambut tamu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari
kiamat).” (HR. Al-Bukhari no. 948)
Nabi
shallallahu
‘alaihi wasallam menyetujui tindakan Umar untuk berhias pada hari ‘Id, akan
tetapi yang dia ingkari adalah membeli baju tersebut, karena terbuat dari
sutera.
Dalam
riwayat lain, dari Jabir radhialahu ‘anhu,
dia berkata:
ان
للنبي صلى الله عليه وسلم جبة يلبسها للعيدين ويوم الجمعة
‘Bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki gamis yang biasa beliau pakai untuk
shalat dua Hari Raya dan hari Jumat.”. (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1765)
Imam
Al-Baihaqi rahimahullah
meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai pakaian yang
paling bagus pada Hari ‘Id.
6. Mengambil jalan yang berbeda saat
berangkat dan pulang dari sholat ‘Id
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya.
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah
dalam Shahih Al-Bukhari, dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ
الطَّرِيقَ
“Bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada Hari ‘Id menempuh jalan yang berbeda.”
(HR. Al-Bukhari no. 986)
Hikmah
dari hal tersebut adalah untuk menampakan syiar Islam pada kedua jalan tersebut
dimana kedua jalan tersebut akan menjadi saksi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala
pada hari kiamat terhadap kebaikan dan keburukan yang dilakukan di atasnya. Ada
pula yang berpendapat untuk menampakan zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala
sehingga menimbulkan rasa gentar terhadap kaum munafik atau orang Yahudi dengan
banyaknya orang bersamanya, atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, apakah
untuk meminta fatwa, mengajarkan atau memenuhi segala kebutuhan, atau untuk
mengunjungi kerabat dan bersilaturahim serta menyebar salam.
Demikianlah
adab-adab serta sunnah pada Hari ‘Id. Semoga amal ibadah kita selama bulan
Ramadhan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dan diampunilah dosa-dosa kita yang telah lalu. Aamiin. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Adab-Adab Dalam Merayakan Hari 'Id"