Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menjadi Anak Angkat Fir'aun

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash [28] : 7)

Nabi Musa ‘alaihis salam adalah seorang nabi yang diutus kepada Bani Israil yang menyampaikan Hukum Taurat dan menuliskannya dalam Pentateukh. Beliau hidup sekitar tahun 1527 SM hingga 1407 SM. Nabi Musa ‘alaihis salam adalah putra dari Imran bin Yashar bin Qahits bin Lawi bin Yaqub. Dan bersaudara dengan Nabi Harun ‘alaihis salam, juga bersaudara dengan Qarun bin Yashar bin Qahits yang merupakan pamannya. Ibunya adalah Yukabad. Nabi Harun ‘alaihis salam berusia beberapa tahun lebih tua darinya. (Tarikh Ath-Thabari, Jilid 1 hal. 231)

Nabi Musa ‘alaihis salam dilahirkan pada waktu zaman raja Fir’aun IV. Menurut sejarah, Fir’aun adalah gelar raja-raja Mesir, dan Fir’aun yang bermusuhan dengan Nabi Musa ‘alaihis salam adalah Menepthah atau Ramses III atau dikenal dengan Fir’aun IV yang hidup sekitar tahun 1232 SM hingga 1224 SM, pengganti dari Qabus bin Mushab atau Ramses I yang dikenal dengan Fir’aun III. Sedangkan Fir’aun I adalah Ar-Ra’yan bin Al-Walid. (Tarikh Ath-Thabari, Jilid I hal. 231-232)

            Diriwayatkan bahwa Suatu hari Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut.

Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara umum dan membiarkan mereka secara umum.

Nabi Harun ‘alaihis salam lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Nabi Musa ‘alaihis salam lahir pada tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ أُمِّ مُوسَىٰ أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash [28] : 7)

Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya, dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa ‘alaihis salam lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Nabi Musa ‘alaihis salam diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Nabi Musa ‘alaihis salam melihat peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Nabi Musa ‘alaihis salam menjadi kosong, hampir saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam adalah anaknya sendiri.

Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah subhanahu wa ta’ala menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, Asiyah adalah putri dari Muzahim bin Abid bin Rayyan bin Al-Walid. Melihat peti yang berisi bayi Nabi Musa ‘alaihis salam, Asiyah lalu mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa kasihan:

قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰ أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.” (QS. Al-Qashash [28] : 9)

Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Nabi Musa ‘alaihis salam memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.

Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.

Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Nabi Musa ‘alaihis salam dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa ‘alaihis salam menangis dengan sedihnya, hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan Nabi Musa‘ alaihis salam, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Nabi Musa ‘alaihis salam menolak semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Nabi Musa ‘alaihis salam mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.

Saudari Nabi Musa ‘alaihis salam pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir’aun sehingga tenanglah ibu Nabi Musa ‘alaihis salam dan lega hatinya.

Ibu Nabi Musa ‘alaihis salam pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa ‘alaihis salam segera menyodorkan teteknya, bayi Nabi Musa ‘alaihis salam segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Nabi Musa ‘alaihis salam untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Nabi Musa ‘alaihis salam itu bersama ibu itu yang tidak lain adalah ibu Nabi Musa ‘alaihis salam sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Nabi Musa ‘alaihis salam dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Nabi Musa ‘alaihis salam telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Nabi Musa ‘alaihis salam telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa ‘alaihis salam tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan. Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Nabi Musa ‘alaihis salam.

Demikianlah Nabi Musa ‘alaihis salam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari, Nabi Musa ‘alaihis salam berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai, yang satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang Bani Israil meminta bantuan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam pun datang dan hendak mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.

Nabi Musa ‘alaihis salam pun merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun bersedih, bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya. Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa:

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” (QS. Al-Qashash [28] : 16)

Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa ‘alaihis salam berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, namun Nabi Musa ‘alaihis salam marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun berkata:

يَا مُوسَى أَتُرِيدُ أَنْ تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا بِالأمْسِ إِنْ تُرِيدُ إِلا أَنْ تَكُونَ جَبَّارًا فِي الأرْضِ وَمَا تُرِيدُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْمُصْلِحِينَ

“Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS. Al-Qashash [28] : 19)

Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihis salam. Maka tentara Fir’aun mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa ‘alaihis salam menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, orang itu berkata:

يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلأ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ

“Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” (QS. Al-Qashash [28] : 20)

Maka setelah mendengar nasihat itu, Nabi Musa ‘alaihis salam keluar dari Mesir dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa:

رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash [21] : 21)

Maka terasinglah Nabi Musa ‘alaihis salam, berjalan di tengah padang pasir hingga akhirnya beliau bertemu dengan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam dan menikahi kedua anaknya di negeri Madyan.

0 Comment for "Nabi Musa ‘Alaihis Salam Menjadi Anak Angkat Fir'aun"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top