“Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam
Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang
nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam [19] :
56-57)
Nabi Idris ‘alaihis salam adalah keturunan Nabi Adam ‘alaihis
salam. Terjadi perbedaan yang mendasar tentang riwayat Nabi Idris ‘alaihis
salam, apakah dia seorang nabi yang hidup sebelum Nabi Nuh ‘alaihis
salam ataukah sesudahnya. Ahli sejarah seperti Ibnu Katsir rahimahullah,
Ath-Thabari rahimahullah, Ibnu Ishaq rahimahullah, Ibnu Jarir rahimahullah,
Asy-Syaukani rahimahullah, As-Suyuthi rahimahullah dan lainnya
menjelaskan bahwa Nabi Idris ‘alaihis salam hidup sebelum Nabi Nuh ‘alaihis
salam dan ini adalah pendapat yang rajih. Mereka berdalil dengan sebuah
riwayat dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar rahimahullah, beliau berkata,
“Idris adalah keturunan Adam pertama yang diberikan kenabian. Dia adalah
Akhnukh bin Yazid bin Ahalil bin Qinan bin Nasyir bin Syits bin Adam.” (HR.
Al-Hakim no. 4014) Menurut Kitab Taurat, Nabi Idris ‘alaihis salam
berusia 365 tahun sebelum beliau diangkat oleh Allah subhanahu wa ta’ala
ke langit. (Taurat, Kitab Kejadian Pasal 5 ayat 23)
Nabi Idris ‘alaihis salam diriwayatkan memiliki kepandaian
yang jarang dimiliki oleh manusia pada saat itu. Beliau pandai menulis, membaca
dan mengetahui ilmu perbintangan, ilmu hitung sehingga beliau adalah anak Adam
yang pertama mendapat kenabian, bersamanya ia mendapat 30 shahifah. Yang paling
dikenal dari Nabi Idris ‘alaihis salam pada zaman itu adalah
kepandaiannya membuat pakaian yang menjadi pelindung bagi masyarakat purba masa
itu. Sebelumnya manusia tidak mengenal pakaian yang berjahit kecuali pakaian
yang terbuat dari kulit binatang.
Sebagai seorang nabi beliau mendapat 30 shahifah yang berisi
petunjuk-petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala yang harus disampaikan
kepada manusia. Beliau juga mempelajari semua yang pernah diajarkan oleh Nabi
Adam ‘alaihis salam dan Nabi Syits ‘alaihis salam. Tugasnya ialah
memberikan petunjuk kepada manusia yang tergoda oleh bujuk rayu setan agar
mereka selamat dari adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Pada waktu itu,
kedurjanaan berkembang dari keturunan Qabil yang durhaka terhadap perintah
Allah subhanahu wa ta’ala karena tergoda oleh bujuk rayu setan dan
membunuh saudaranya Habil yang telah mengawini kekasih hatinya Ikrimma.
Dengan keberanian dan kebesarannya Nabi Idris ‘alaihis salam
mengajak umatnya untuk patuh dan taat pada perintah Allah subhanahu wa
ta’ala dan menjauhkan larangannya. Beliau sangat pemberani terhadap semua
orang yang durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu
wa ta’ala memberinya derajat yang tinggi atas usahanya.
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا
نَّبِيًّا وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Quran.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam [19] : 56-57)
Mujahid rahimahullah menjelaskan tentang ayat tersebut
bahwa Nabi Idris ‘alaihis salam diangkat ke langit dalam keadaan tidak
mati seperti Nabi Isa ‘alaihis salam (Tafsir Ath-Thabari, Jilid 72 hal.
16). Ada riwayat lain yang menjelaskan dari Ka’ab bin Al-Ahbar rahimahullah,
tatkala Nabi Idris ‘alaihis salam berkesempatan untuk berbicara dengan
malaikat, maka Nabi Idris ‘alaihis salam berkeinginan untuk melihat alam
ghaib dan keinginannya terpenuhi sehingga beliau naik ke atas langit. Akan
tetapi para ahli hadits mengatakan bahwa Ka’ab bin Al-Ahbar rahimahullah
terlalu banyak meriwayatkan cerita Israiliyyat.
Dalam riwayat yang lain pun dikisahkan bahwa sesungguhnya Nabi
Idris ‘alaihis salam dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun
meminta kepadanya agar diperlihatkan surga dan neraka. Idris pun naik (ke
langit), lalu Malaikat Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget
sehingga hampir pingsan. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris
seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama
sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat Maut
membawanya sampai ia memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke
dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah, sesungguhnya engkau telah
melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut.
“Tidak ! Demi Allah, aku tak akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris.
Lalu dikatakanlah kepada Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah
memasukkannya? Sesungguhnya seorang yang telah memasukinya tidak boleh keluar
darinya”. (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 7269 dan Ad-Dailami
dalam Musnad Al-Firdaus no. 862)
Kisah ini sangatlah masyhur akan tetapi kisah ini diriwayatkan
dari sanad yang maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat rawi yang
tertuduh dusta, yaitu Ibrahim bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishi. Sebab itu,
hadits ini dicantumkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kumpulan
hadits-hadits palsu di dalam kitabnya Adh-Dha’ifah no. 339
Nabi Idris ‘alaihis salam bertemu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di langit yang keempat saat peristiwa mi’raj. Hal ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menempatkan kedudukannya
pada derajat yang tinggi di antara para nabi lainnya. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala dalam ayat yang lain:
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كَلٌّ مِّنَ
الصَّابِرِينَ
“Dan Ismail, Idris, dan
Dzulkifli, mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anbiya [21] : 85)
Demikian juga,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits
sesuatu yang mengisyaratkan tentang sifat Nabi Idris ‘alaihis salam.
Beliau bersabda:
كَانَ نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ
فَذَاكَ
“Adalah seorang nabi
dari para nabi yang menggaris nasib, maka barang siapa yang mampu melakukannya
(dengan bekal ilmu yang pasti dan mencocoki), maka hal itu boleh baginya.” (HR.
Muslim no. 537)
Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa nabi yang dimaksud dalam
hadits di atas adalah Nabi Idris ‘alaihis salam. Imam Nawawi rahimahullah
menjelaskan tentang hadits ini, “Maksud yang sesungguhnya menggaris nasib itu
hukumnya haram, dikarenakan hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan syarat
harus dengan ilmu yang pasti dan mencocoki, dan tidak ada bagi kita. Adapun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan hukumnya,
supaya tidak salah tafsir bahwa apa yang dilakukan nabi tersebut haram, karena
memang nabi tersebut punya ilmunya sehingga boleh melakukannya. Adapun kita
tidak punya ilmu tentangnya.” (Syarh Muslim, Jilid 5 hal. 21)
0 Comment for "Kisah Nabi Idris ‘Alaihis Salam"